Pendahuluan
Menurut IASP (International Association for the Study of Pain) 1979 nyeri adalah "suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan". Sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Paling sering, diklasifikasikan berdasarkan satu dimensi yaitu berdasarkan patofisiologi (nosiseptif vs neuropatik) ataupun berdasarkan durasinya (nyeri akut vs kronik). Sebagai dasar dari mekanisme nyeri adalah adanya jaras penghantar nyeri, yang bekerja menerima impuls dari perifer, serta menghantarkannya ke susunan saraf pusat sehingga dapat diterjemahkan sebagai sebuah persepsi yang sensasi yang tidak menyenangkan atau mengancam. Proses ini menyangkut empat kejadian yaitu transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi, yang melibatkan berbagai macam struktural baik saraf sensoris perifer, medula spinalis serta struktur yang lebih tinggi di batang otak dan korteks. Proses yang kompleks ini melibatkan berbagai mediator kimia dan reseptornya.
Klasifikasi Nyeri
Penggolongan nyeri yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan satu dimensi yaitu berdasarkan patofisiologi (nosiseptif vs neuropatik) ataupun berdasarkan durasinya (nyeri akut vs kronik).
Nosiseptif vs Neuropatik
- Nosiseptif
- Somatik
- Viseral
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh adanya stimuli noksius (trauma, penyakit atau proses radang). Dapat diklasifikasikan menjadi nyeri viseral, bila berasal dari rangsangan pada organ viseral, atau nyeri somatik, bila berasal dari jaringan seperti kulit, otot, tulang atau sendi. Nyeri somatik sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu superfisial (dari kulit) dan dalam (dari yang lain).
Pada nyeri nosiseptik system saraf nyeri berfungsi secara normal, secara umum ada hubungan yang jelas antara persepsi dan intensitas stimuli dan nyerinya mengindikasikan kerusakan jaringan. Perbedaan yang terjadi dari bagaimana stimuli diproses melalui tipe jaringan menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik. Sebagai contoh nyeri somatik superfisial digambarkan sebagai sensasi tajam dengan lokasi yang jelas, atau rasa terbakar. Nyeri somatik dalam digambarkan sebagai sensasi tumpul yang difus. Sedang nyeri viseral digambarkan sebagai sensasi cramping dalam yang sering disertai nyeri alih (nyerinya pada daerah lain).
- Neuropatik
Nyeri neuropatik adalah nyeri dengan impuls yang berasal dari adanya kerusakan atau disfungsi dari sistim saraf baik perifer atau pusat. Penyebabnya adalah trauma, radang, penyakit metabolik (diabetes mellitus, DM), infeksi (herpes zooster), tumor, toksin, dan penyakit neurologis primer. Dapat dikategorikan berdasarkan sumber atau letak terjadinya gangguan utama yaitu sentral dan perifer. Dapat juga dibagi menjadi peripheral mononeuropathy dan polyneuropathy, deafferentation pain, sympathetically maintained pain, dan central pain.
Nyeri neuropatik sering dikatakan nyeri yang patologis karena tidak bertujuan atau tidak jelas kerusakan organnya. Kondisi kronik dapat terjadi bila terjadi perubahan patofisiologis yang menetap setelah penyebab utama nyeri hilang. Sensitisasi berperan dalam proses ini. Walaupun proses sensitisasi sentral akan berhenti bila tidak ada sinyal stimuli noksius, namun cedera saraf dapat membuat perubahan di SSP yang menetap. Sensitisasi menjelaskan mengapa pada nyeri neuropatik memberikan gejala hiperalgesia, alodinia ataupun nyeri yang persisten.
Nyeri neuropatik dapat bersifat terus menerus atau episodik dan digambarkan dalam banyak gambaran seperti rasa terbakar, tertusuk, shooting, seperti kejutan listrik, pukulan, remasan, spasme atau dingin. Beberapa hal yang mungkin berpengaruh pada terjadinya nyeri neuropatik yaitu sensitisasi perifer, timbulnya aktifitas listrik ektopik secara spontan, sensitisasi sentral, reorganisasi struktur, adanya proses disinhibisi sentral, dimana mekanisme inhibisi dari sentral yang normal menghilang, serta terjadinya gangguan pada koneksi neural, dimana serabut saraf membuat koneksi yang lebih luas dari yang normal.
Akut vs Kronik
- Akut
Nyeri akut diartikan sebagai pengalaman tidak menyenangkan yang kompleks berkaitan dengan sensorik, kognitif dan emosional yang berkaitan dengan trauma jaringan, proses penyakit, atau fungsi abnormal dari otot atau organ visera. Nyeri akut berperan sebagai alarm protektif terhadap cedera jaringan. Reflek protektif (reflek menjauhi sumber stimuli, spasme otot, dan respon autonom) sering mengikuti nyeri akut. Secara patofisiologi yang mendasari dapat berupa nyeri nosiseptif ataupun nyeri neuropatik.
- Kronik
Nyeri kronik diartikan sebagai nyeri yang menetap melebihi proses yang terjadi akibat penyakitnya atau melebihi waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan, biasanya 1 atau 6 bulan setelah onset, dengan kesulitan ditemukannya patologi yang dapat menjelaskan tentang adanya nyeri atau tentang mengapa nyeri tersebut masih dirasakan setelah proses penyembuhan selesai.1,3 Nyeri kronik juga diartikan sebagai nyeri yang menetap yang mengganggu tidur dan kehidupan sehari-hari, tidak memiliki fungsi protektif, serta menurunkan kesehatan dan fungsional seseorang. Penyebabnya bermacam-macam dan dipengaruhi oleh factor multidimensi, bahkan pada beberapa kasus dapat timbul secara de novo tanpa penyebab yang jelas. Nyeri kronik dapat berupa nyeri nosiseptif atau nyeri neuropatik ataupun keduanya.
Nyeri kronik sering di bagi menjadi nyeri kanker (pain associated with cancer) dan nyeri bukan kanker (chronic non-cancer pain, CNCP). Banyak ahli yang berpendapat bahwa nyeri kanker diklasifikasi terpisah karena komponen akut dan kronik yang dimilikinya, etiologinya yang sangat beragam, dan berbeda dalam secara signifikan dari CNCP baik dari segi waktu, patologi dan strategi penatalaksanaannya. Nyeri kanker ini disebabkan oleh banyak faktor yaitu karena penyakitnya sendiri (invasi tumor ke jaringan lain, efek kompresi atau invasi ke saraf atau pembuluh darah, obstruksi organ, infeksi ataupun radang yang ditimbulkan), atau karena prosedur diagnostik atau terapi (biopsy, post operasi, efek toksik dari kemoterapi atau radioterapi).
Fisiologi Nyeri
Respon fisiologis
- Rangsangan simpatik (nyeri ringan – moderat)
- Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
- Peningkatan heart rate
- Vasokonstriksi perifer, peningkatan TD
- Peningkatan nilai gula darah
- Peningkatan kekuatan otot
- Dilatasi pupil
- Penurunan motilitas GI
- Rangsangan Parasimpatis (nyeri berat dan dalam)
- Muka pucat
- Otot mengeras
- Penurunan HR dan BP
- Nafas cepat dan irreguler
- Nausea dan vomitus
- Kelelahan dan keletihan
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri :
- Usia
- Jenis kelamin
- Kultur
- Makna nyeri
- Perhatian
- Anxietas
- Pengalaman masa lalu
- Pola koping
- Support keluarga dan sosial
Intensitas Nyeri
Keterangan :
0 Tidak nyeri
1-3 Nyeri ringan. Secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 Nyeri sedang. Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 Nyeri berat. Secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 Nyeri sangat berat. Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Tujuan Penatalaksanaan Nyeri
- Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri
- Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang persisten
- Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri
- Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri
- Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari
Strategi terapi
- Terapi non-farmakologi
- Intervensi psikologis: Relaksasi, hipnosis, dll.
- Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) utk nyeri bedah, traumatik, danoral-facial
- Terapi farmakologi
- Analgesik : non-opiat dan opiat
Prinsip penatalaksanaan nyeri
Pengobatan nyeri harus dimulai dengan analgesik yang paling ringan sampai ke yang paling kuat
Tahapannya:
- Tahap I analgesik non-opiat : AINS
- Tahap II analgesik AINS + ajuvan (antidepresan)
- Tahap III analgesik opiat lemah + AINS + ajuvan
- Tahap IV analgesik opiat kuat + AINS + ajuvan
Contoh ajuvan : antidepresan, antikonvulsan, agonis α2, dll.
Penatalaksanaan nyeri neuropati
Hampir sebagian besar nyeri neuropatik tidak berespon terhadap NSAID dan analgesik opioid
Terapi utamanya adalah the tricyclic antidepressants (TCA's), the anticonvulsants and the systemic local anesthetics. Agen farmakologi yang lain yang dapat digunakan termasuk corticosteroids, topical therapy with substance P depletors, autonomic drugs and NMDA receptor antagonists
Contoh obat baru : Pregabalin (Lyrica) dari Pfizer digunakan untuk nyeri neuropati
- Analgesik Non-Opioid
Obat analgesik non-opioid yg umum :
- Aspirin
- Efektif dan tersedia secara luas di seluruh dunia
- Dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan anti-inflamasi
- Efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan, menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya yang irreversibel
- Memiliki keterkaitan epidemiologis dengan Reye's Syndrome
- Dosis berkisar dari minimal 500 mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4 g, per oral per hari.
- OAINS
- Mekanisme kerja : inhibisi sintesis prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin.
- Lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang.
- Mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan.
Mekanisme kerja dari obat golongan NSAID yang paling utama adalah inhibisi dari enzim siklooksigenase (COX) yang akan menyebabkan terhambatnya sintesis prostaglandin. Prostaglandin adalah salah satu substansia yang dihasilkan dari adanya proses inflamasi, yang akan merangsang nosiseptor sehingga menimbulkan impuls nosiseptif.
Diketahui COX memiliki tiga isomer, secara garis besar tiap isomer ini memiliki karakteristik kerja masing-masing. COX-1 umumnya terdapat pada semua jaringan secara normal, tetapi memainkan peran di traktus gastrointestinal (GIT), ginjal dan pada platelet, dimana ia berfungsi menghasilkan prostaglandin dengan effek kerja yang menguntungkan yaitu mengatur aliran darah ke mukosa gaster dan ginjal. Sedangkan COX-2 umumnya tidak ada kecuali apabila ada proses radang. COX-2 ini menghasilkan prostaglandin yang menimbulkan stimuli pada nosiseptor. COX-3, suatu varian dari COX-1, lebih banyak bekerja di sentral, penghambatan terhadap COX-3 di sentral diperlihatkan sebagai mekanisme kerja utama dari asetaminofen.
- Paracetamol
- Opioid Lemah
Mekanisme kerja utama opioid adalah dengan berikatan dengan reseptor opioid di SSP. Efeknya adalah menimbulkan inhibisi transmisi input nosiseptif di kornu dorsalis, dengan berikatan dengan reseptor opioid di serabut saraf aferen primer dan serabut saraf di kornu dorsalis, efeknya akan menyerupai kerja dari opioid endogen. Selain itu opioid mengaktifkan modulasi sinyal di medulla spinalis melalui pengaktifan inhibisi sentral, serta merubah aktifitas sistim limbik. Jadi opioid tidak hanya mempengaruhi nyeri secara sensorik tetapi juga secara afektif.
- Codeine
- Berasal dari opium alkaloid
- Kurang aktif daripada morfin
- Efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang
- Dapat dikombinasikan dengan parasetamol
- Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.
- Dextropropoxyphene
- Memiliki sifat analgesik yang relatif miskin
- Dosis berkisar dari 32.5 mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60 mg setiap 4 jam dengan maksimum 300 mg setiap hari.
Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan :
Parasetamol 500 mg/Kodein 8 mg tablet. Dua tablet setiap 4 jam sampai maksimum 8 tablet perhari.
Bila tidak mencukupi :
Parasetamol 1 g secara oral dengan Kodein 30 mg sampai 60 mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan.
- Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan Opioid kuat sebagai analgesianya (Morfin dan derivatnya). Perawatan yang tepat dimulai dengan pemahaman yang benar tentang obat, rute pemberian dan modus tindakan.
Metode menggunakan obat opioid
- Rute oral
- Paling banyak digunakan
- Penyerapan opioid dapat berkurang akibat keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi
- Bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus dan hati
- Tidak cocok untuk nyeri akut
- Rute sublingual
- Tidak melewati metabolisme lintas pertama
- Obat yang telah paling sering digunakan oleh rute ini adalah Buprenorfin
- Rute supositoria
- Alternatif yang berguna, terutama jika terdapat nyeri berat yang disertai dengan mual dan muntah
- Tetapi tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat dan kadang-kadang penyerapannya tidak menentu
- Cocok untuk pemeliharaan analgesia
- Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar setengah yang dibutuhkan oleh rute oral
- Ketersediaan obat terbatas
- Administrasi intramuskular
- Analgesik secara reguler setiap 4 jam
- Diperlukan penilaian analgesia reguler, pencatatan skor nyeri dan pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri
Analgesik Opioid
- Agonis seperti morfin:
- Morfin
- Hidromorfon
- Oksimorfon
- Leforvanol
- Kodein
- Hidrokodon
- Oksikodon
- Agonis seperti meperidin:
- Meperidin
- Fentanil
- Agonis seperti metadon:
- Metadon
- Propoksifen
- Antagonis:
- Nalokson
- Analgesik sentral:
- Tramadol
Adiksi suatu keadaan dimana tubuh baik fisik maupun psikis ketergantungan terhadap suatu obat.
Habituasi suatu keadaan di mana hanya psikis saja ketergantungan terhadap suatu zat.
Toleransi untuk mendapatkan efek yang sama dosisnya harus ditambah atau dinaikkan.
Euforia suatu keadaan perasaan gembira/senang, tapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid.
Yang termasuk golongan obat opioid adalah :
- Obat yang berasal dari opium morfin
- Senyawa semisintetik morfin
- Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin
- Peptida opioid endogen
Telah diidentifikasi 3 jenis peptida yang terdapat dalam otak dan jaringan lain yang terikat pada reseptor opioid, yakni enkefalin (Pro enkefalin A), endorfin (Pro-opiomelanokortin [POMC]) dan dinorfin (Pro-opiomelanokortin [POMC]).
- Reseptor opioid majemuk (multiple)
Opioid berinteraksi dengan reseptor opioid untuk menimbulkan efeknya dan potensi analgesik tergantung pada afinitasnya terhadap reseptor opioid spesifik. Telah terbukti terdapat berbagai jenis reseptor opioid di SSP dan adanya berbagai jenis reseptor tersebut dapat menjelaskan adanya berbagai efek opioid.
- Reseptor µ (mu)
- Analgesik mirip morfin
- Euforia
- Depresi nafas
- Miosis
- Berkurangnya motilitas saluran cerna
- Reseptor k (kappa)
- Analgesi seperti yang ditimbulkan pentazosin
- Sedasi
- Miosis
- Depresi nafas
- Reseptor s (sigma)
- Berhubungan dengan efekpsikomimetik yang ditimbulkanoleh pentazosin.
- Reseptor d (delta)
- Selektif terhadap enkefalin
- Depresi pernafasan
- Reseptor e (epsilon)
- Sangat selektif terhadapbeta endorfin
Mekanisme
Bekerja pada reseptor opiat di SSP, reseptor yang memodulasi transmisi nyeri, menurunkan persepsi nyeri dg cara menyekat nyeri pada berbagai tingkat, terutama di otak tengah dan medulla spinalis.
Reseptor opiat ada 3 :
- Reseptor μ (mu) : Berperan dalam Analgesia supraspinal, Depresi respirasi, Euforia, Ketergantungan
- Reseptor κ (kappa) : Berperan dalam analgesia spinal, miosis, sedasi
- Reseptor δ (delta) : disforia, halusinasi, stimulasi pusat vasomotor
Contoh Obat Golongan Opiat
- MORFIN
- Digunakan sebagai standar analgesik opiat lain
- Umumnya diberikan secara s.c., i.m., i.v. Dosis oral 2 x dosis injeksi.
- Efek samping: depresi respirasi, mual-muntah, nggliyeng, konstipasi, dll
- Metabolisme di hepar; hati-hati pada pasien dengan penyakit liver
- KODEIN
- Waktu paruh 3 jam, efikasi 1/10 morfin, ketergantungan lebih rendah
- Digunakan untuk nyeri ringan dan sedang
- Dosis oral 30 mg setara dg aspirin 325-600 mg
- PETIDIN
- Waktu paruh 5 jam, efektivitas lebih besar dari kodein, tapi lebih kecil dari morfin, durasi analgesianya 3-5 jam, efek puncak tercapai dlm 1 jam (injeksi) atau 2 jam (oral)
- Diberikan secara oral atau i.m.
- Efek sampingnya setara dengan morfin
- Dosis 75-100 mg Petidin setara dg 10 mg morfin
- TRAMADOL
- Waktu paruh 6 jam, efikasi 10-20% morfin, sebanding dengan Petidin
- Sifat adiktif minimal, efek samping lebih ringan drpd morfin
- FENTANIL
- Waktu paruh 3 jam, digunakan pasca operasi, tapi biasanya untuk anaestesi
- Efikasinya 80 x morfin, efeknya berakhir dlm 30-60 menit (dosis tunggal)
- Bisa diberikan dalam bentuk plester yang akan melepaskan obatnya 25 mg/jam untuk 72 jam (untuk pasien kanker kronis)
Analgesik-Antipiretik, Anti-Inflamasi Nonsteroid
Sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). prostaglandin akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Selain itu OAINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGE2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Khusus Parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti-inflamasi Parasetamol praktis tidak ada. Aspirin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim ini. Dan trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena sel ini tidak mampu mengadakan regenerasi enzimnya.
Mekanisme Kerja
- Inflamasi
Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5-HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan PG. obat mirip-aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali PG.
- Rasa Nyeri
PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. Penelitian telah membuktikan bahwa PG menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata.
- Demam