Rabu, 08 Juni 2011

Laporan Kasus Hepatitis Virus Akut

A.    Identitas

1.    Nama lengkap    : Tn. H

2.    Jenis kelamin    : Laki-laki

3.    Umur        : 20 tahun

4.    Suku/Bangsa    : Melayu/Indonesia

5.    Agama         : Islam

6.    Pekerjaan    : Buruh swasta (bengkel)

7.    Alamat        : Sei Nipah, Jungkat

8.    Status perkawinan    : Belum menikah


 

B.    Anamnesis

1.    Keluhan utama

Mata kuning


 

2.    Riwayat penyakit sekarang

Dua minggu penderita mengetahui kedua matanya terlihat kuning. Keluhan disertai dengan buang air kecil seperti teh pekat. Buang air besar berwarna putih seperti dempul tidak ada. Keluhan tidak disertai dengan gatal-gatal di seluruh tubuh. Keluhan tidak disertai dengan nyeri di perut kanan atas, demam, mata kemerahan, adanya bintik-bintik perdarahan di kulit ataupun nyeri di otot betis. Penderita berobat ke dokter spesialis penyakit dalam di poli penyakit dalam RSU dr. Soedarso 1 hari sebelum masuk rumah sakit dan dilakukan pemeriksaan darah, dikatakan menderita penyakit Hepatitis, kemudian disarankan untuk dirawat.

Satu minggu sebelum BAK seperti teh dan mata kuning penderita mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi, dirasakan terus menerus siang dan malam selama 1 hari. Demam tidak disertai dengan menggigil. Penderita juga merasakan badan menjadi lemah, nyeri kepala, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, mual dan muntah sebanyak satu kali berisi cairan dan sisa makanan. Penderita membeli Parasetamol dan merasa demam dan sakit kepala agak berkurang namun keluhan lainnya tidak berkurang sampai timbul keluhan mata kuning.

Penderita baru pertama kali mengalami mata kuning.

Riwayat kontak dengan penderita sakit kuning sebelumnya tidak ada. Riwayat mendapat transfusi tidak ada. Riwayat penggunaan obat Carbamazepin (untuk epilepsi) dengan dosis 2 x 1 tablet/hari sejak SMP, sedang minum jamu-jamuan disangkal.

Adanya riwayat sering lemah, mudah lelah, lesu, pandangan mata berkunang-kunang, pusing, jantung berdebar-debar tidak ada. Riwayat berpergian ke daerah endemis malaria tidak ada. Riwayat penurunan berat badan yang nyata tidak ada. Muntah darah dan buang air besar seperti aspal disangkal. Riwayat sering nyeri atau perih di ulu hati yang disertai mual dan muntah terutama bila terlambat makan tidak ada.


 

3.    Riwayat penyakit dahulu

Penderita mengaku memiliki riwayat epilepsi yang mulai dialami sejak kelas 5 SD. Jika serangan epilepsi terjadi, dirasakan kejang di kedua tangan dan kaki tanpa disertai kehilangan kesadaran. Serangan berlangsung kurang dari 1 menit. Setelah serangan epilepsi berakhir, pasien dapat beraktifitas seperti biasa lagi. Sejak itu penderita mengkonsumsi obat Carbamazepine yang diminum 2 tablet per hari (pagi dan sore). Selama 3 tahun terakhir, epilepsi tidak pernah kambuh. Selama minum obat, penderita tidak mengalami efek samping apapun.


 

4.    Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan penderita.


 

C.    Pemeriksaan Fisik

1.    Kesan umum

Tampak sakit ringan

2.    Tanda vital

a.    Kesadaran    : Compos mentis

b.    Tekanan darah    : 110/70 mmHg

c.    Nadi    : 68 x/menit, irama reguler, isi cukup/penuh

d.    Laju nafas    : 16 x/menit, tipe abdominotorakal

e.    Suhu     : 36,7oC (aksila)

3.    Pemeriksaan per organ

a.    Kulit

Scratch effect (-)

b.    Kepala

Dalam batas normal

c.    Mata

Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik +/+ (kuning orange)

d.    Telinga

Tak tampak kelainan

e.    Hidung

Pernafasan cuping hidung (-)

f.    Mulut

Frenulum linguae ikterik (+), sianosis perioral (-), fetor hepatikum (-)

g.    Tenggorok

Tak tampak kelainan

h.    Leher

Distensi vena leher (-), JVP 5+2 cmH2O, spider naevi (-), kelenjar getah bening tak teraba membesar.

i.    Dada

Bentuk dan gerak simetris, perbandingan ant : post 2 : 1 spider naevi (-)

j.    Paru

  • Inspeksi    : bentuk dan gerak simetris, tidak ada gerakan yang tertinggal
  • Palpasi    : fokal fremitus kanan dan kiri sama, normal
  • Perkusi    : sonor di semua lapang paru, batas paru hepar ICS V kanan
  • Auskultasi    : suara nafas dasar vesikular, ronki -/-, wheezing -/-

k.    Jantung

  • Inspeksi    : ictus cordis tak tampak
  • Palpasi    : ictus cordis teraba di ICS V linea mid clavicula sinistra
  • Perkusi    : batas atas ICS II linea sternalis

    : batas kanan ICS IV linea parasternal dextra

    : batas kiri ICS V linea mid clavicula sinistra

  • Auskultasi    : bunyi jantung S1, S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

l.    Abdomen

  • Inspeksi    : supel, distensi (-), venektasi (-)
  • Auskultasi    : bising usus (+), 2 x/menit, normal
  • Palpasi    : nyeri tekan (-), hepar teraba 1 jari di bawah arkus kostae kanan, tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal, nyeri tekan (-). Lien tidak teraba
  • Perkusi    : pekak samping (-), shifting dullness (-)

m.    Anus/rektum

Tidak dilakukan pemeriksaan

n.    Alat kelamin/perineum

Tidak dilakukan pemeriksaan

o.    Ekstremitas

Edema -/-, eritema palmaris -/-, liver nail -/-

p.    Nervi craniales

Dalam batas normal

q.    Limfonodi

Pembesaran KGB (-)


 

D.    Resume

Laki-laki, 20 tahun, datang dengan keluhan mata kuning sejak 2 minggu. Keluhan disertai dengan urin berwarna seperti teh pekat. Seminggu sebelumnya penderita mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi dirasakan terus menerus siang dan malam selama 1 hari. Penderita juga merasakan badan menjadi lemah, nyeri kepala, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, mual dan muntah sebanyak satu kali berisi cairan dan sisa makanan. Demam dan nyeri kepala berkurang dengan Parasetamol namun keluhan lainnya tidak berkurang sampai timbul keluhan mata kuning.

Penderita berobat ke dokter spesialis penyakit dalam di poli penyakit dalam RSU dr. Soedarso 1 hari sebelum masuk rumah sakit dan dilakukan pemeriksaan darah, dikatakan menderita penyakit Hepatitis, kemudian disarankan untuk dirawat.

Penderita baru pertama kali mengalami mata kuning.

Riwayat epilepsi sejak kelas 5 SD, dan konsumsi obat Carbamazepin 2 x 1 tablet/hari.

Pemeriksaan fisik didapatkan penderita tampak sakit ringan, ikterik (kuning orange), gizi cukup, kesadaran kompos mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal. Sklera ikterik, frenulum linguae ikterik, hepatomegali ringan (+) hepar teraba 1 jari di bawah arkus kosta dan 1 jari di bawah proc. xiphoideus, konsistensi kenyal, tepi tajam, permukaan rata, nyeri tekan (-).


 

E.    Diagnosis Sementara/Tetap

1.    Obs. Ikterus et causa Susp Hepatitis Viral Akut

Dasar pertimbangan diagnosis tersebut adalah :

Pada anamnesis terdapat gejala ikterik pada kulit dan mata yang disertai BAK seperti teh pekat. Keluhan ini didahului oleh demam yang tidak begitu tinggi, yang kemudian hilang saat ikterik muncul. Terdapat pula keluhan badan lemah, nyeri kepala, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, mual dan kadang-kadang muntah. Penderita baru pertama kali sakit seperti ini.

Pada pemeriksaan fisik, kesadaran kompos mentis dan tanda-tanda vital normal. Tampak sklera, frenulum linguae, palatum mole ikterik dan hepatomegali dengan konsistensi kenyal, tepi tajam, permukaan rata tanpa disertai nyeri tekan.


 

2.    Epilepsi dalam pengobatan


 

F.    Diagnosis Banding

1.    Hepatitis virus A

Hepatitis virus B

Hepatitis virus C

2.    Drug induced hepatitis (Drug Induced Liver Injury)


 

G.    Terapi/Tatalaksana

1.    Non-farmakologik

  • Istirahat
  • Stop Carbamazepin sampai kadar bilirubin dan SGOT/SGPT normal

2.    Farmakologik

  • IVFD RL/D5 20 gtt atau Aminofel
  • Curcuma 3 x 1 tablet
  • Vit. K 3 x 1 tablet
  • Vit. B Komplek 3 x 1 tablet
  • SNMC 1 x 2 ampul/hari i.v.


 

H.    Program/Pemeriksaan Penunjang

1.    Darah perifer lengkap (Hb, Ht, Trombo, Leuko)

2.    GDS

3.    Urinalisis (Bilirubin dan Urobilinogen)

4.    Serologi

IgM anti HAV, IgM anti HBc, HBsAg, IgM anti HCV

5.    Liver function test

Bilirubin total/direk, SGOT/SGPT, Alkali fosfatase, Gamma GT


 

I.    Prognosis

1.    Ad vitam        : ad bonam

2.    Ad functionam        : ad bonam

3.    Ad sanactionam    : ad bonam

Kamis, 12 Mei 2011

Manajemen Nyeri

Pendahuluan

Menurut IASP (International Association for the Study of Pain) 1979 nyeri adalah "suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan". Sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

Paling sering, diklasifikasikan berdasarkan satu dimensi yaitu berdasarkan patofisiologi (nosiseptif vs neuropatik) ataupun berdasarkan durasinya (nyeri akut vs kronik). Sebagai dasar dari mekanisme nyeri adalah adanya jaras penghantar nyeri, yang bekerja menerima impuls dari perifer, serta menghantarkannya ke susunan saraf pusat sehingga dapat diterjemahkan sebagai sebuah persepsi yang sensasi yang tidak menyenangkan atau mengancam. Proses ini menyangkut empat kejadian yaitu transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi, yang melibatkan berbagai macam struktural baik saraf sensoris perifer, medula spinalis serta struktur yang lebih tinggi di batang otak dan korteks. Proses yang kompleks ini melibatkan berbagai mediator kimia dan reseptornya.


 

Klasifikasi Nyeri

Penggolongan nyeri yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan satu dimensi yaitu berdasarkan patofisiologi (nosiseptif vs neuropatik) ataupun berdasarkan durasinya (nyeri akut vs kronik).


 

Nosiseptif vs Neuropatik

  1. Nosiseptif
    1. Somatik
    2. Viseral


     

    Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh adanya stimuli noksius (trauma, penyakit atau proses radang). Dapat diklasifikasikan menjadi nyeri viseral, bila berasal dari rangsangan pada organ viseral, atau nyeri somatik, bila berasal dari jaringan seperti kulit, otot, tulang atau sendi. Nyeri somatik sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu superfisial (dari kulit) dan dalam (dari yang lain).

    Pada nyeri nosiseptik system saraf nyeri berfungsi secara normal, secara umum ada hubungan yang jelas antara persepsi dan intensitas stimuli dan nyerinya mengindikasikan kerusakan jaringan. Perbedaan yang terjadi dari bagaimana stimuli diproses melalui tipe jaringan menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik. Sebagai contoh nyeri somatik superfisial digambarkan sebagai sensasi tajam dengan lokasi yang jelas, atau rasa terbakar. Nyeri somatik dalam digambarkan sebagai sensasi tumpul yang difus. Sedang nyeri viseral digambarkan sebagai sensasi cramping dalam yang sering disertai nyeri alih (nyerinya pada daerah lain).


     

  2. Neuropatik

    Nyeri neuropatik adalah nyeri dengan impuls yang berasal dari adanya kerusakan atau disfungsi dari sistim saraf baik perifer atau pusat. Penyebabnya adalah trauma, radang, penyakit metabolik (diabetes mellitus, DM), infeksi (herpes zooster), tumor, toksin, dan penyakit neurologis primer. Dapat dikategorikan berdasarkan sumber atau letak terjadinya gangguan utama yaitu sentral dan perifer. Dapat juga dibagi menjadi peripheral mononeuropathy dan polyneuropathy, deafferentation pain, sympathetically maintained pain, dan central pain.

    Nyeri neuropatik sering dikatakan nyeri yang patologis karena tidak bertujuan atau tidak jelas kerusakan organnya. Kondisi kronik dapat terjadi bila terjadi perubahan patofisiologis yang menetap setelah penyebab utama nyeri hilang. Sensitisasi berperan dalam proses ini. Walaupun proses sensitisasi sentral akan berhenti bila tidak ada sinyal stimuli noksius, namun cedera saraf dapat membuat perubahan di SSP yang menetap. Sensitisasi menjelaskan mengapa pada nyeri neuropatik memberikan gejala hiperalgesia, alodinia ataupun nyeri yang persisten.

    Nyeri neuropatik dapat bersifat terus menerus atau episodik dan digambarkan dalam banyak gambaran seperti rasa terbakar, tertusuk, shooting, seperti kejutan listrik, pukulan, remasan, spasme atau dingin. Beberapa hal yang mungkin berpengaruh pada terjadinya nyeri neuropatik yaitu sensitisasi perifer, timbulnya aktifitas listrik ektopik secara spontan, sensitisasi sentral, reorganisasi struktur, adanya proses disinhibisi sentral, dimana mekanisme inhibisi dari sentral yang normal menghilang, serta terjadinya gangguan pada koneksi neural, dimana serabut saraf membuat koneksi yang lebih luas dari yang normal.


 

Akut vs Kronik

  1. Akut

    Nyeri akut diartikan sebagai pengalaman tidak menyenangkan yang kompleks berkaitan dengan sensorik, kognitif dan emosional yang berkaitan dengan trauma jaringan, proses penyakit, atau fungsi abnormal dari otot atau organ visera. Nyeri akut berperan sebagai alarm protektif terhadap cedera jaringan. Reflek protektif (reflek menjauhi sumber stimuli, spasme otot, dan respon autonom) sering mengikuti nyeri akut. Secara patofisiologi yang mendasari dapat berupa nyeri nosiseptif ataupun nyeri neuropatik.

  2. Kronik

    Nyeri kronik diartikan sebagai nyeri yang menetap melebihi proses yang terjadi akibat penyakitnya atau melebihi waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan, biasanya 1 atau 6 bulan setelah onset, dengan kesulitan ditemukannya patologi yang dapat menjelaskan tentang adanya nyeri atau tentang mengapa nyeri tersebut masih dirasakan setelah proses penyembuhan selesai.1,3 Nyeri kronik juga diartikan sebagai nyeri yang menetap yang mengganggu tidur dan kehidupan sehari-hari, tidak memiliki fungsi protektif, serta menurunkan kesehatan dan fungsional seseorang. Penyebabnya bermacam-macam dan dipengaruhi oleh factor multidimensi, bahkan pada beberapa kasus dapat timbul secara de novo tanpa penyebab yang jelas. Nyeri kronik dapat berupa nyeri nosiseptif atau nyeri neuropatik ataupun keduanya.

    Nyeri kronik sering di bagi menjadi nyeri kanker (pain associated with cancer) dan nyeri bukan kanker (chronic non-cancer pain, CNCP). Banyak ahli yang berpendapat bahwa nyeri kanker diklasifikasi terpisah karena komponen akut dan kronik yang dimilikinya, etiologinya yang sangat beragam, dan berbeda dalam secara signifikan dari CNCP baik dari segi waktu, patologi dan strategi penatalaksanaannya. Nyeri kanker ini disebabkan oleh banyak faktor yaitu karena penyakitnya sendiri (invasi tumor ke jaringan lain, efek kompresi atau invasi ke saraf atau pembuluh darah, obstruksi organ, infeksi ataupun radang yang ditimbulkan), atau karena prosedur diagnostik atau terapi (biopsy, post operasi, efek toksik dari kemoterapi atau radioterapi).


 

Fisiologi Nyeri

Respon fisiologis

  1. Rangsangan simpatik (nyeri ringan – moderat)
  • Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
  • Peningkatan heart rate
  • Vasokonstriksi perifer, peningkatan TD
  • Peningkatan nilai gula darah
  • Peningkatan kekuatan otot
  • Dilatasi pupil
  • Penurunan motilitas GI
  1. Rangsangan Parasimpatis (nyeri berat dan dalam)
  • Muka pucat
  • Otot mengeras
  • Penurunan HR dan BP
  • Nafas cepat dan irreguler
  • Nausea dan vomitus
  • Kelelahan dan keletihan


 

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri :

  • Usia
  • Jenis kelamin
  • Kultur
  • Makna nyeri
  • Perhatian
  • Anxietas
  • Pengalaman masa lalu
  • Pola koping
  • Support keluarga dan sosial


 

Intensitas Nyeri


 



 


Keterangan :

0    Tidak nyeri

1-3     Nyeri ringan. Secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4-6     Nyeri sedang. Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9     Nyeri berat. Secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10     Nyeri sangat berat. Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.


 

Tujuan Penatalaksanaan Nyeri

  • Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri
  • Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang persisten
  • Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri
  • Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri
  • Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari


 

Strategi terapi

  1. Terapi non-farmakologi
  • Intervensi psikologis: Relaksasi, hipnosis, dll.
  • Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) utk nyeri bedah, traumatik, danoral-facial
  1. Terapi farmakologi
  • Analgesik : non-opiat dan opiat


 

Prinsip penatalaksanaan nyeri

Pengobatan nyeri harus dimulai dengan analgesik yang paling ringan sampai ke yang paling kuat

Tahapannya:

  1. Tahap I     analgesik non-opiat : AINS
  2. Tahap II     analgesik AINS + ajuvan (antidepresan)
  3. Tahap III     analgesik opiat lemah + AINS + ajuvan
  4. Tahap IV     analgesik opiat kuat + AINS + ajuvan


 

Contoh ajuvan : antidepresan, antikonvulsan, agonis α2, dll.


 



Penatalaksanaan nyeri neuropati

Hampir sebagian besar nyeri neuropatik tidak berespon terhadap NSAID dan analgesik opioid

Terapi utamanya adalah the tricyclic antidepressants (TCA's), the anticonvulsants and the systemic local anesthetics. Agen farmakologi yang lain yang dapat digunakan termasuk corticosteroids, topical therapy with substance P depletors, autonomic drugs and NMDA receptor antagonists

Contoh obat baru : Pregabalin (Lyrica) dari Pfizer digunakan untuk nyeri neuropati


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

  1. Analgesik Non-Opioid

    Obat analgesik non-opioid yg umum :

  • Aspirin
    • Efektif dan tersedia secara luas di seluruh dunia
    • Dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan anti-inflamasi
    • Efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan, menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya yang irreversibel
    • Memiliki keterkaitan epidemiologis dengan Reye's Syndrome
    • Dosis berkisar dari minimal 500 mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4 g, per oral per hari.
  • OAINS
    • Mekanisme kerja : inhibisi sintesis prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin.
    • Lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang.
    • Mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan.

    Mekanisme kerja dari obat golongan NSAID yang paling utama adalah inhibisi dari enzim siklooksigenase (COX) yang akan menyebabkan terhambatnya sintesis prostaglandin. Prostaglandin adalah salah satu substansia yang dihasilkan dari adanya proses inflamasi, yang akan merangsang nosiseptor sehingga menimbulkan impuls nosiseptif.

    Diketahui COX memiliki tiga isomer, secara garis besar tiap isomer ini memiliki karakteristik kerja masing-masing. COX-1 umumnya terdapat pada semua jaringan secara normal, tetapi memainkan peran di traktus gastrointestinal (GIT), ginjal dan pada platelet, dimana ia berfungsi menghasilkan prostaglandin dengan effek kerja yang menguntungkan yaitu mengatur aliran darah ke mukosa gaster dan ginjal. Sedangkan COX-2 umumnya tidak ada kecuali apabila ada proses radang. COX-2 ini menghasilkan prostaglandin yang menimbulkan stimuli pada nosiseptor. COX-3, suatu varian dari COX-1, lebih banyak bekerja di sentral, penghambatan terhadap COX-3 di sentral diperlihatkan sebagai mekanisme kerja utama dari asetaminofen.

  • Paracetamol


 

  1. Opioid Lemah

    Mekanisme kerja utama opioid adalah dengan berikatan dengan reseptor opioid di SSP. Efeknya adalah menimbulkan inhibisi transmisi input nosiseptif di kornu dorsalis, dengan berikatan dengan reseptor opioid di serabut saraf aferen primer dan serabut saraf di kornu dorsalis, efeknya akan menyerupai kerja dari opioid endogen. Selain itu opioid mengaktifkan modulasi sinyal di medulla spinalis melalui pengaktifan inhibisi sentral, serta merubah aktifitas sistim limbik. Jadi opioid tidak hanya mempengaruhi nyeri secara sensorik tetapi juga secara afektif.


     

  • Codeine
    • Berasal dari opium alkaloid
    • Kurang aktif daripada morfin
    • Efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang
    • Dapat dikombinasikan dengan parasetamol
    • Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.
  • Dextropropoxyphene
    • Memiliki sifat analgesik yang relatif miskin
    • Dosis berkisar dari 32.5 mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60 mg setiap 4 jam dengan maksimum 300 mg setiap hari.


 

Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan :

Parasetamol 500 mg/Kodein 8 mg tablet. Dua tablet setiap 4 jam sampai maksimum 8 tablet perhari.

Bila tidak mencukupi :

Parasetamol 1 g secara oral dengan Kodein 30 mg sampai 60 mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan.


 

  1. Opioid Kuat

    Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan Opioid kuat sebagai analgesianya (Morfin dan derivatnya). Perawatan yang tepat dimulai dengan pemahaman yang benar tentang obat, rute pemberian dan modus tindakan.


     

    Metode menggunakan obat opioid

    1. Rute oral
  • Paling banyak digunakan
  • Penyerapan opioid dapat berkurang akibat keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi
  • Bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus dan hati
  • Tidak cocok untuk nyeri akut
  1. Rute sublingual
  • Tidak melewati metabolisme lintas pertama
  • Obat yang telah paling sering digunakan oleh rute ini adalah Buprenorfin
  1. Rute supositoria
  • Alternatif yang berguna, terutama jika terdapat nyeri berat yang disertai dengan mual dan muntah
  • Tetapi tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat dan kadang-kadang penyerapannya tidak menentu
  • Cocok untuk pemeliharaan analgesia
  • Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar setengah yang dibutuhkan oleh rute oral
  • Ketersediaan obat terbatas
  1. Administrasi intramuskular
  • Analgesik secara reguler setiap 4 jam
  • Diperlukan penilaian analgesia reguler, pencatatan skor nyeri dan pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Analgesik Opioid


 

  •  
  • Agonis seperti morfin:
    • Morfin
    • Hidromorfon
    • Oksimorfon
    • Leforvanol
    • Kodein
    • Hidrokodon
    • Oksikodon


     


     

  • Agonis seperti meperidin:
    • Meperidin
    • Fentanil
  • Agonis seperti metadon:
    • Metadon
    • Propoksifen
  • Antagonis:
    • Nalokson
  • Analgesik sentral:
    • Tramadol

       


       

      Adiksi     suatu keadaan dimana tubuh baik fisik maupun psikis ketergantungan terhadap suatu obat.

      Habituasi     suatu keadaan di mana hanya psikis saja ketergantungan terhadap suatu zat.

      Toleransi     untuk mendapatkan efek yang sama dosisnya harus ditambah atau dinaikkan.

      Euforia     suatu keadaan perasaan gembira/senang, tapi tidak sesuai dengan kenyataan.


 

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid.

Yang termasuk golongan obat opioid adalah :

  1. Obat yang berasal dari opium morfin
  2. Senyawa semisintetik morfin
  3. Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin


 

  1. Peptida opioid endogen

    Telah diidentifikasi 3 jenis peptida yang terdapat dalam otak dan jaringan lain yang terikat pada reseptor opioid, yakni enkefalin (Pro enkefalin A), endorfin (Pro-opiomelanokortin [POMC]) dan dinorfin (Pro-opiomelanokortin [POMC]).


     

  2. Reseptor opioid majemuk (multiple)

    Opioid berinteraksi dengan reseptor opioid untuk menimbulkan efeknya dan potensi analgesik tergantung pada afinitasnya terhadap reseptor opioid spesifik. Telah terbukti terdapat berbagai jenis reseptor opioid di SSP dan adanya berbagai jenis reseptor tersebut dapat menjelaskan adanya berbagai efek opioid.

  • Reseptor µ (mu)
    • Analgesik mirip morfin
    • Euforia
    • Depresi nafas
    • Miosis
    • Berkurangnya motilitas saluran cerna
  • Reseptor k (kappa)
    • Analgesi seperti yang ditimbulkan pentazosin
    • Sedasi
    • Miosis
    • Depresi nafas
  • Reseptor s (sigma)
    • Berhubungan dengan efekpsikomimetik yang ditimbulkanoleh pentazosin.
  • Reseptor d (delta)
    • Selektif terhadap enkefalin
    • Depresi pernafasan
  • Reseptor e (epsilon)
    • Sangat selektif terhadapbeta endorfin


 

Mekanisme

Bekerja pada reseptor opiat di SSP, reseptor yang memodulasi transmisi nyeri, menurunkan persepsi nyeri dg cara menyekat nyeri pada berbagai tingkat, terutama di otak tengah dan medulla spinalis.

Reseptor opiat ada 3 :

  • Reseptor μ (mu) : Berperan dalam Analgesia supraspinal, Depresi respirasi, Euforia, Ketergantungan
  • Reseptor κ (kappa) : Berperan dalam analgesia spinal, miosis, sedasi
  • Reseptor δ (delta) : disforia, halusinasi, stimulasi pusat vasomotor


 

Contoh Obat Golongan Opiat

  1. MORFIN
  • Digunakan sebagai standar analgesik opiat lain
  • Umumnya diberikan secara s.c., i.m., i.v. Dosis oral 2 x dosis injeksi.
  • Efek samping: depresi respirasi, mual-muntah, nggliyeng, konstipasi, dll
  • Metabolisme di hepar; hati-hati pada pasien dengan penyakit liver
  1. KODEIN
  • Waktu paruh 3 jam, efikasi 1/10 morfin, ketergantungan lebih rendah
  • Digunakan untuk nyeri ringan dan sedang
  • Dosis oral 30 mg setara dg aspirin 325-600 mg
  1. PETIDIN
  • Waktu paruh 5 jam, efektivitas lebih besar dari kodein, tapi lebih kecil dari morfin, durasi analgesianya 3-5 jam, efek puncak tercapai dlm 1 jam (injeksi) atau 2 jam (oral)
  • Diberikan secara oral atau i.m.
  • Efek sampingnya setara dengan morfin
  • Dosis 75-100 mg Petidin setara dg 10 mg morfin
  1. TRAMADOL
  • Waktu paruh 6 jam, efikasi 10-20% morfin, sebanding dengan Petidin
  • Sifat adiktif minimal, efek samping lebih ringan drpd morfin
  1. FENTANIL
  • Waktu paruh 3 jam, digunakan pasca operasi, tapi biasanya untuk anaestesi
  • Efikasinya 80 x morfin, efeknya berakhir dlm 30-60 menit (dosis tunggal)
  • Bisa diberikan dalam bentuk plester yang akan melepaskan obatnya 25 mg/jam untuk 72 jam (untuk pasien kanker kronis)


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Analgesik-Antipiretik, Anti-Inflamasi Nonsteroid


 

Sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). prostaglandin akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Selain itu OAINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi.

Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGE2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Khusus Parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti-inflamasi Parasetamol praktis tidak ada. Aspirin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim ini. Dan trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena sel ini tidak mampu mengadakan regenerasi enzimnya.


 



 

Mekanisme Kerja

  1. Inflamasi

    Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5-HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan PG. obat mirip-aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali PG.

  2. Rasa Nyeri

    PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. Penelitian telah membuktikan bahwa PG menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata.

  3. Demam


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Rabu, 11 Mei 2011

Hepatitis Virus Akut

Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan hati yang menimbulkan gejala klinis yang khas yaitu badan lemah, kencing berwarna seperti teh pekat, mata dan seluruh badan menjadi kuning.


 

Berdasarkan penyebabnya, hepatitis dapat dibagi atas :

  • Hepatitis oleh virus
  • Hepatitis oleh bakteri
  • Hepatitis oleh obat-obatan.


 

Sedangkan berdasarkan perjalanan penyakitnya, hepatitis dapat dibagi atas :

  • Hepatitis akut
  • Hepatitis kronis


 

Hepatitis viral akut ialah inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama kurang dari 6 bulan.


 

The clinical picture of viral hepatitis is extremely variable, ranging from asymptomatic infection without jaundice to a fulminating disease.

Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi virus hepatotropik yang bersifat sistemik dan akut – berlangsung kurang dari 6 bulan.

Sebagian hepatitis akan sembuh sempurna, tetapi sebagian lain akan berkembang menjadi kronis, sirosis atau karsinoma hati.


 

Etiologi

Paling sedikit ada 6 jenis virus penyebab hepatitis yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E dan G – tetapi pada anak umumnya yang menimbulkan masalah terutama hepatitis A, B dan C.

Virus hepatitis ini merupakan virus RNA kecuali virus Hepatitis B yang merupakan virus RNA.

Hepatitis A umumnya mengenai anak dan dewasa muda sedangkan Hepatitis B sering mengenai dewasa muda, bayi dan balita. Hepatitis C lebih sering mengenai orang dewasa.

Hepatitis A lebih sering mengenai penderita dengan status sosioekonomi yang buruk karena penularan virus ini terutama melalui jalur faecal oral.


 

Patogenesis

Virus-virus Hepatitis secara primer tidak bersifat sitopatik (merusak) pada sel-sel hepar. Gejala klinis yang disebabkan oleh infeksi virus ini disebabkan oleh respons imun penderita terhadap infeksi tersebut.


 

Patofisiologi

  1. Patofisiologi Ikterus

    Ikterus adalah keadaan klinis di mana ditemukannya warna kuning pada kulit dan mukosa yang disebabkan oleh pigmen empedu. Ikterus dapat diketahui bila kadar bilirubin darah lebih dari 2 mg%.


 

  1. Metabolisme Bilirubin

    Bilirubin merupakan produk dari pemecahan heme yang 80-85% berasal dari eritrosit matang dan 15-20% dari produk heme lainnya seperti myoglobin, sitokrom. Proses pemecahan heme terjadi dalam sel retikuloendotelial. Heme diubah menjadi biliverdin melelui proses oksigenasi. Biliverdin oleh enzim biliverdin reduktase diubah menjadi bilirubin. Bilirubin yang beredar dalam plasma sebagian besar (90%) berada dalam bentuk unconjungated/indirek. Bilirubin indirek akan berikatan dengan albumin lebih kuat dibandingkan dengan bilirubin direk. Namun ikatan ini tidak mutlak sehingga bila terdapat anion lain seperti Sulfonamide dan Salisilat yang berkompetisi dengan bilirubin maka bilirubin ini akan beredar bebas dalam darah dan memasuki jaringan tubuh lainnya seperti jaringan otak.

    Bilirubin indirek melepaskan ikatannya dengan albumin lalu masuk ke dalam hati dan terikat dengan ligandin. Di dalam hati terjadi perubahan bilirubin menjadi bilirubin glukoronid oleh enzim glukoronosil transferase. Bakteri dalam usus halus dan kolon mengubah bilirubin glukoronid menjadi urobilinogen, sebagian diserap kembali dan akan melewati sirkulasi enterohepatik; sebagian lainnya dikeluarkan melalui urin dan feses.

    Bilirubin direk mudah larut dalam air sehingga dapat difiltrasi melalui ginjal.


 

Manifestasi Klinis

  1. Stadium praikterik

    Berlangsung selama 4-7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, mual, muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri pada perut kanan atas. Urin menjadi lebih coklat.

  2. Stadium ikterik

    Berlangsung selama 3-6 minggu. Ikterus mula-mula terlihat pada sklera, kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan-keluhan berkurang, tetapi pasien masih lemah, anoreksia, dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.

  3. Stadium pascaikterik (rekonvalesens)

    Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi. Penyembuhan pada anak-anak lebih cepat dari orang dewasa, yaitu pada akhir bulan kedua, karena penyebab yang biasanya berbeda.


 

Apabila hepar sudah membesar pasien dapat mengeluh nyeri perut kanan atas (perut 'begah').

Demam dengan suhu sekitar 38-39oC lebih sering ditemukan pada hepatitis A. urine berwarna gelap (seperti air teh) dan feses berwarna tanah (clay-colored). Dengan timbulnya gejala kuning/ikterus maka biasanya gejala prodromal menghilang. Hepatomegali dapat disertai nyeri tekan.

Ikterik pada penderita terutama tampak pada wajah, batang tubuh dan sklera. Ikterik pertama kali terlihat pada frenulum lingue namun yang biasa diperhatikan pertama kali adalah sklera. Sklera mudah menyimpan bilirubin karena terdiri atas banyak sekali serat-serat elastin.

Mata kuning adalah keluhan pertama yang dapat dilihat oleh penderita atau kerabatnya. Warna kuning pada mata dapat memberikan gambaran kasar penyebab ikterus :

  • Kuning    : Prehepatik
  • Kuning oranye    : Hepatik
  • Kuning kehijauan     : Posthepatik


 

Pemeriksaan Fisik

  1. Kepala
  • Mata
  • Mulut
  • Leher

    Spider naevi (spider telangiectasis, spider angioma, arterial spider) ditemukan pada penyakit hati yang kronis, dijumpai pada daerah yang mendapatkan vaskularisasi dari vena cava superior.

    Lokasinya adalah pada muka, leher, lengan, punggung tangan, dada dan punggung tetapi jarang terdapat di bawah garis yang menghubungkan kedua areola mammae. Spider naevi tampak sebagai titik dengan serabut-serabut pembuluh darah yang menyebar secara radier dengan diameter mulai seujung jarum sampai 0,5 cm.

  1. Thoraks
  2. Abdomen

    Inspeksi dartar lembut, jika terdapat asites akan tampak cembung.

  • Hepatomegali

    Pada hepatitis virus akut, terjadi pembesaran hepar yang bersifat kenyal, tepi tajam, permukaan rata. Sedangkan pada sirosis, hepar dapat teraba atau tidak teraba. Pada karsinoma, hepar membesar dan teraba keras dengan permukaan yang berbenjol-benjol, tepi tidak rata, tumpul dan pada auskultasi terdengar hepatic bruit.

  • Pembesaran Lien
  1. Ekstremitas
  • Edema

    Edema dapat dijumpai pada penderita penyakit hati kronis. Penimbunan cairan pada penyakit hati dimulai dari rongga perut (asites) lalu diikuti tempat-tempat lainnya.

  • Clubbing

    Clubbing biasa dijumpai pada penyakit-penyakit kronis. Pada hepatitis akut tidak ditemukan.

    Sianosis dapat ditemukan pada penderita sirosis dengan kegagalan hati akibat penurunan dari kejenuhan O2 dalam arteri.

  • Eritema Palmaris

    Eritema palmaris (liver palms) yaitu salah satu kelainan yang dapat dijumpai pada penderita kegagalan hati. Tangan penderita akan tampak merah tua dan teraba panas (hangat) terutama pada hipotenar, tenar dan pada jari.

  • Liver Nail (White Nail)


 


 

Kriteria Diagnosis

The key features for diagnosis are :

  • Mual, anoreksia, malaise, urin gelap
  • Ikterus
  • Hepatomegali yang kenyal dan nyeri tekan
  • Peningkatan SGOT dan SGPT (SGPT > SGOT) lebih dari 3 kali nilai normal.


 

Diagnosis Banding

  • Hepatitis Akibat Obat
  • Hepatitis Alkoholik
  • Penyakit Saluran Empedu
  • Leptospirosis


 

  1. Ikterus Prehepatik

    Ikterus prehepatik ini adalah akibat proses hemolisis eritrosit yang berlebihan, gangguan konjungasi bilirubin dan gangguan up-take bilirubin.

    Didapatkan keluhan mata (sklera) berwarna kuning. BAB dan BAK tak ada kelainan. Keluhan gatal dan nyeri tekan tidak ada.


     

  2. Ikterus Hepatik
  3. Ikterus Posthepatik


 

Pemeriksaan Penunjang

  • SGOT, SGPT, Bilirubin
  • IgM anti HAV, HbsAg, IgM anti HBc, anti-HCV, anti-HEV
  • Biopsi hati (bila faal hati tidak kembali normal setelah 6 bulan).


 

Terapi

  • Tirah baring. Pada periode akut dan keadaan lemahdiharuskan cukup istirahat.
  • Diet seimbang.
  • Terapi suportif sesuai kondisi pasien
  1. Berikan obat-obat yang bersifat melindungi hati.
  2. Antibiotik tidak jelas kegunaannya
  3. Jangan diberikan antiemetik.


 

Penyulit

  • Hepatitis Fulminan
  • Kolestasis berkelanjutan
  • Hepatitis Kronik


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Jumat, 06 Mei 2011

Abses Hati

Batasan dan Uraian Umum
Rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi amuba atau bakteri.

Amebiasis merupakan penyakit endemik yang berhubungan dengan aspek sosial kemasyarakatan
yang luas, terutama didaerah dengan sanitasi, status hygiene yang kurang baik dan status ekonomi yang rendah. Indonesia memiliki banyak daerah endemik untuk strain virulen E. histolytica. E. histolytica hidup komensal di usus manusia, namun dengan keadaan gizi yang buruk dapat menjadi patogen dan menyebabkan angka morbiditas yang tinggi. Penelitian di Indonesia menunjukan perbandingan pria : wanita berkisar 3 : 1 – 22 : l. Usia penderita berkisar antara 20-50 tahun, terutama pada dewasa muda, jarang pada anak-anak.
Baik bentuk trophozoit maupun kista dapat ditemukan pada lumen usus. Namun hanya bentuk trophozoit yang dapat menginvasi jaringan. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Ameba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E. hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%), superfisial serta tunggal.
Kecendrungan ini diperkirakan akibat penggabungan dari beberapa tempat infeksi mikroskopik. Ukuran abses bervariasi dari diameter 1 sampai 25 cm. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit – yang kronis dan besar berdinding tebal, Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan
hepar serta sel darah merah yang dicerna. Evaluasi cairan abses untuk penghitungan sel dan enzimatik secara umum tidak membantu dalam mendiagnosis abses amuba. Amuba bisa didapalkan ataupun tidak di dalam cairan pus. Penderita umumnya mengalami demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai gejala komplikasi. Kadang gejalanya tidak khas, timbul pelan-pelan atau asimptomatis. Pada pendenta amebiasis hepar, kelainan laboratorium yang ditemukan adalah anemia ringan sampai sedang, dan leukositosis. Pada pemeriksaan faal hati, tidak ditemukan kelainan yang spesifik. Kista dan tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi pada 15% - 50% penderita abses amuba hepar, karena infeksi usus besar seringkali telah mereda saat penderita mengalami abses hepar. Complement fixation test lebih dapat dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran, dan proktoskopi. Pada foto dada penderita amebiasis hati dapat berupa peninggian kubah diafragma kanan, berkurangnya gerak diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses paru. Untuk mendeteksi amebiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Sensitivitasnya dalam mendiagnosis amebiasis hati adalah 85% - 95%.

Diagnosis
1.      Anamnesis
Demam, perasaan nyeri perut kanan atas.

2.      Pemeriksaan Fisik
Ikterus, hepatomegali yang nyeri tekan, nyeri tekan perut kanan atas.

3.      Pemeriksaan Penunjang
a.                  Laboratorium
- Leukositosis
- Gangguan fungsi hati

b.                   USG hati
c.                   Aspirasi pus positif

Diagnosis Banding
·         Hepatoma
·         Kolesistitis
·         TBC hati
·         Aktinomikosis hati

Tatalaksana
·         Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein
·         Konservatif:
           1) Pada abses amuba
         Metronidazol 4 x 500-750 mg/hari selama 5-10 hari
           2) Pada abses piogenik
         Antibiotik spektrum luas atau sesuai dengan hasil kultur kuman.
           3) Pada abses campuran
         Kombinasi Metronidazol dan antibiotik 
·    Drainase cairan abses, terutama pada kasus yang gagal dengan tatalaksana konservatif atau bila abses berukuran besar (> 5 cm).